Selasa, 16 Oktober 2012

Asal Usul Sejarah Adidas

Sejarah merk sepatu yang sangat terkenal ini dimulai pada tahun 1920 oleh Adi (Adolf) Dassler di ruang cuci milik Ibunya. Waktu itu Adi Dassler membuat proyek kecil-kecilan dengan membuat sepatu olahraga. Karena tingginya kualitas sepatu yang dihasilkannya, akhirnya bisnis kecil-kecilan tersebut mulai membuahkan hasil. Pada tahun 1924, Adi Dassler dan saudaranya Rudolf Dassler mendirikan “Dassler Brothers OGH” yang nantinya menjadi cikal bakal Adidas sekarang. Komitmen Adi Dassler pada kualitas, membawa Dassler Brothers sebagai produsen sepatu berkualitas tinggi, sehingga sering dipakai oleh atlit-atlit legendaris masa itu untuk Olimpiade. Puncak keterkenalan sepatu Dassler Brothers adalah ketika Jesse Owen menjadi atlit paling sukses pada Olimpiade Berlin pada tahun 1936 dengan mengenakan sepatu buatan Dassler. Pada tahun 1948, Adi dan Rudolf memutuskan untuk berpisah dan masing-masing membuat merk sepatu sendiri. Rudolf membuat merk sepatu ‘Puma’ sedangkan Adi membuat merk ‘Adidas.’ Pengambilan nama Adidas berasal dari nama Adi Dassler dengan menggabungkan nama depan Adi dan satu suku kata nama belakang Dassler yakni ‘das’ sehingga menjadi kata ‘Adidas’. Sekadar informasi bahwa nama asli dari Adi Dassler adalah Adolf Dassler, tapi orang Jerman sering memanggil nama Adolf sebagai Adi. Didukung oleh kemajuan bidang penyiaran dan pertelevisian, adidas menikmati keuntungan dari event olahraga seperti Olimpiade atau sepakbola, karena logo 3 stripes mereka mudah dikenali dari jauh. Ia pun mendafarkan logo 3 stripes sebagai trademark dari adidas. 3 stripes yang diciptakan agar kaki stabil, namun akhirnya menjadi logo. evolusi logo ADIDAS
Penggunaan logo Adidas sendiri baru dipergunakan pada sekitar tahun 1948, pada saat dua bersaudara Dassler tersebut berpisah. Secara visual, logo Adidas hanya berupa huruf Adidas, dengan nama Adolf Dassler diatasnya serta ilustrasi sepatu ditengahnya. Dengan merk ini, sepatu buatan Adi Dassler mencapai titik kesuksesannya, dengan diakuinya merk sepatu Adidas diajang pesta olahraga dunia seperti Olimpiade Helsinki, Melbourne, Roma dan lainnya. Serta saat itu tim sepakbola Jerman menjadi juara dunia sepakbola dengan menggunakan sepatu Adidas. Pada tahun 1972, logo Adidas mengalami perubahan yakni dengan menggunakan konsep ‘Trefoil Logo’, yaitu logo dengan visual tiga daun terangkai. Konsep tiga daun ini memiliki makna simbolisasi dari semangat Olimpiade yang menghubungkan pada 3 benua. Sejak saat itulah Adidas menjadi sepatu resmi yang dipergunakan pada even Olimpiade diseluruh dunia. Akhirnya setelah bertahun-tahun berjaya dan mengalami liku-liku perkembangan usaha, pada tahun 1996, Adidas mengalami modernisasi dengan menerapkan konsep ‘We knew then – we know now’ yang kurang lebih menggambarkan kesuksesan masa lalu dan kejayaan hingga kini. Adapun logo baru yang digunakan secara visual berupa tiga balok miring yang membentuk tanjakan yang menggambarkan kekuatan, daya tahan serta masa depan. Sejak saat itu logo Adidas tidak pernah mengalami perubahan, serta masih berjaya hingga saat ini.
Selengkapnya...

Minggu, 05 Agustus 2012

Atambua, Yang Baru Aku Tahu

ahhhhhhh seperti sudah sangat lama kau tak ku urus blog-ku, *peluk. apa kabar blog walker yang sering nyasar ke blog cemen ini?sehat?baik?, ya apapun jawaban anda saya akan tetap melanjutkan tulisan ini. hehehe. setelah tidur yang cukup panjang kali ini saya bukan akan memposting tugas2 kuliah saya, materi kuliah saya atau apapun yg berhubungan dengan kuliah saya. ya, kali ini sy ingiiiin sekali menceritakan tentang sebuah kota kecil di ujung negara Indonesia ini. di kota ini saya menghabiskan hampir separuh usia saya (nb: usia sy ketika menulis ini adalah 20thn). tentu banyak sekali memori2 tak terlupakan dari kota kecil ini. tulisan ini adalah repost dari sebuah blog yang bercerita tetntang sebuah peristiwa yg terjadi di atambua sekitar tahun 2000an, namun isinya cukup menggambarkan peradaban di kota Atambua ini. judul postingannya "Atambua, negeri para sahabat". oke tanpa bertele-tele lagi berikut kutipannya PERO Simundza (30) lelaki gagah dari Kroasia — negeri pecahan Yugoslavia– di jazirah Balkan sana, mungkin tak pernah membayangkan bahwa pada hari kesembilan bulan Juni tahun 2000 hidupnya akan berakhir di Atambua, sebuah kota yang sangat boleh jadi tak pernah terbayangkannya ada tercantum dalam peta dunia yang dikenalnya. Namun, kematian Simundza –bersama dua rekannya– secara dramatis telah membuat Atambua disebut bahkan oleh Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Koffi Anan, juga oleh para pemimpin dunia. Tiba-tiba saja Atambua identik dengan kekerasan Indonesia. Tiba-tiba saja Atambua sama dengan ancaman bagi para pekerja lapangan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini membikin Presiden RI tampak betul-betul terpojok. Ketika itu, di dalam negeri ia sendang diuber-uber gosip ala Lewinsky, datang ke Sidang Milenium PBB ditonjok ancaman Clinton yang menyerukan dunia mengisolasi Indonesia gara-gara tewasnya tiga staf Komisi Tinggi PBB untuk Masalah Pengungsi (UNHCR) di Atambua. Boleh jadi, Clinton pun baru dengar saat itu, ada kota bernama Atambua. Tapi toh ia mengutus Menteri Pertahanan, William Cohen ke Jakarta untuk mendesak Gus Dur. “Imbauan” Clinton sang ‘sherif dunia’ itu direspon baik oleh PBB –yang memang seringkali lebih mendengar Amerika ketimbang anggota-anggota lain dalam serikat itu– yang dengan segera mengetukkan palu sidang untuk mengeluarkan resolusi bagi Indonesia. Bayangkan, Atambua –yang semula tak terbayangkan ada dalam peta– ternyata terpapar di atas meja para wakil dunia di dalam majelis yang disebut PBB: Tok! Palu diketuk, dan Resolusi PBB No 1319 resmi dilayangkan ke meja penguasa Indonesia. Isinya, semacam instruksi agar Pemerintah RI membubarkan milisi yang saat ini ada di Timor Barat, menyusul terjadinya serangan atas markas UNHCR yang menyebabkan tiga orang pekerja kemanusiaan PBB tewas, di Atambua. Atambua? Ya, Atambua adalah kota terbesar kedua di pulau kecil Timor bagian barat Letaknya kurang lebih 270 kilo meter sebelah timur Kupang, langsung berbatasan dengan ‘negara’ tetangga, Timor Timur. Luas kota ini, cuma tiga kilo meter persegi. Tingkat keramaiannya, mungkin separo dari keramaian kota kecamatan di Jawa. Sebelum dibanjiri pengungsi, suasana kota berpenduduk 20.000 jiwa ini sunyi, tenteram dan damai. Mirip kota para pensiunan.
Bangunan paling menonjol di pusat kota adalah Katedral yang berhadap-hadapan dengan Masjid Raya, di samping Kantor Bupati dan Gedung DPRD yang sekaligus menunjukkan bahwa Atambua adalah ibu kota kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Belu, dalam bahasa Tetun –bahasa lokal yang paling banyak digunakan penduduk Timor di bagian tengah hingga ke timur pulau itu, dan kini digunakan sebagai bahasa sehari-hari Timtim– berarti sahabat. Penduduk asli Belu terdiri atas dua sub suku yang paling dominan, yakni Kemak dan Marae. Karakteristik umum orang-orang Kemak dan Marae ramah, terbuka, mudah akrab, lembut, dan menghindari konflik. Karena itu, mereka lebih sering memilih upaya damai untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Kalaupun ada masalah antartetangga atau antarkampung, para tetua dari kedua pihak akan segera berkumpul, semua yang terlibat juga diikutsertakan dalam rembukan adat yang akan diakhiri dengan acara bersulang, minum sopi (minuman keras tradisional yang dibuat dari sadapan pohon lontar, agak rasanya manis tajam dengan aroma agak menyengat). Naluri bersahabat itulah yang juga menjalari segenap warga Atambua ketika menyambut dengan tangan terbuka ribuan tetangganya dari Timtim yang tersuruk-suruk mencari perlindungan, mencari tempat aman dari kemelut yang terjadi di tanah Lorosae itu, September 1999. Hal sama terjadi pula 24 tahun silam, ketika Timtim melepaskan diri dari kekuasaan Portugal yang sudah menghisapnya habis-habisan selama 4,5 abad. Para pengungsi Timtim mengalir ke Atambua karena kota ini dapat dicapai dengan menempuh jarak 30 km dari Kabupaten Balibo (Maliana) Timtim lewat Batugede (Matoain) atau lewat Desa Haikesak. Dari Kabupaten Kovalima (Suai) Timtim lewat Kecamatan Kobalima berjarak 65 km. Lebih dari itu, warga di kedua wilayah ini memang masih satu nenek moyang dari satuan-satuan sub suku yang dominan menghuni jazirah Timor. Persoalan jadi lain ketika para sahabat dari tanah seberang terus mengalir. Semua pendatang itu tiba dalam keadaan tertekan akibat perang saudara. Butuh sandang, pangan, dan papan serta –yang paling utama– perlu perhatian. Persoalan jadi lebih rumit karena para sahabat itu lari dari ‘negara’ sebelah. Ini berarti masalah internasional. Masalah dunia. Masalah antarbangsa. Karena itulah negara-negara yang terikat persahabatan dalam persekutuan bernama PBB, menaruh perhatian besar pada ‘sahabat-sahabat’ warga Atambua – Belu, itu. Tapi kedamaian dan semangat persahabatan tuan rumah mulai terusik dan tercabik-cabik, ketika keberadaan dan perilaku pengungsi –yang kini jumlahnya tiga kali lipat dari jumlah warga Atambua– mulai tidak terkontrol. Ini, menyusul kerusuhan yang ditimbulkan ribuan pengungsi Timtim, yang antara lain menewaskan tiga staf asing UNHCR di Atambua. Selain itu, enam orang sipil, penduduk asli Atambua juga dianiaya dan dibunuh oleh para pengungsi Timtim yang kalap dan membumihanguskan 69 bangunan milik warga setempat itu. “Pengungsi bertindak brutal dan membunuh staf UNHCR karena luapan kebencian mereka selama ini kepada badan dunia itu. UNHCR dinilai tidak hanya bekerja untuk kemanusiaan, tapi juga demi kepentingan politik tertentu,” pekik tokoh masyarakat Timtim di pengungsian, Nemecio Lopez de Carvalho. Apa pun katanya, tindakan itu telah menyebabkan UNHCR angkat kaki. Pengungsi tak lagi ada yang mengurusi, dan akhirnya menyerang atau malah menjarah penduduk lokal untuk merebut makanan. “Kami ini miskin semua, sekarang harus menanggung tambahan beban lebih 100 ribu jiwa. Sudah begitu, banyak pula yang tak tahu diri, merusak dan mengacau,” kata seorang warga Atambua yang dengan sedih harus mengungsi ke wilayah kabupaten tetangganya. Kini, keadaan jadi berbalik, tuan rumah yang lelah, gelisah, dan ketakutan terkepung dan diteror pengungsi, mulai mengambil keputusan: Melawan atau mengungsi. Ternyata, lebih banyak yang memilih alternatif kedua, tapi tak ada satu pun badan nasional –apalagi internasional macam UNHCR– yang mengurusi nasib para pengungsi baru ini. Warga setempat masih menganggap saudara-saudara mereka dari Timtim adalah sahabat yang sedang kesusahan. Mereka mencoba memahami tekanan fisik dan psikologis yang dialami para pengugsi, sehingga memilih mengalah, hengkang untuk sementara. Meski tentu saja tidak semua, sebab ada saja yang bereaksi keras mempertahankan hak-haknya yang mereka rasa makin terusik dan terancam oleh hadirnya para pengungsi, eh sahabat-sahabatnya itu. Artinya, di samping telah membuat PBB sewot hingga dewan keamanannya menerbitkan resolusi –yang bisa berarti mengundang sikap antipati internasional– insiden Atambua juga merobek bungkus persahabatan yang selama ini menyatukan mereka dalam penderitaan yang sama. Maklum rakyat NTT juga sama miskinnya dengan rakyat Timtim. Malah pada saat masih berintegrasi, Timtim (wilayah yang cuma sepotong itu) meperoleh anggaran dari pusat lima sampai enam kali lebih besar dibanding anggaran dari pusat untuk NTT (yang wilayah berpenghuninya terdiri atas lebih dari 52 pulau!). Jika sudah begini, kecemburuan lama –Timtim dimanja pusat, NTT dibiarkan– bisa saja menjalar lagi di kalangan penduduk NTT, terutama warga Atambua yang menerima beban paling berat sebagai kantong terbesar bagi pengungsi Timtim. Semangat dan nilai persahabatan yang selama ini coba dirawat dan menjadi ruh dalam pergaulan mereka dengan pengungsi, tercabik sudah. Tak mustahil, keretakan ini akan memicu konflik horisontal di antara mereka. Bukankah sering terjadi, sahabat berbalik jadi musuh bebuyutan yang dibakar dendam. Dendam muncul karena satu di antara dua pihak yang bersahabat itu mengkhianati persahabatan. Kalau urusannya sudah khianat, jangankan sahabat yang notabene orang lain, saudara sedarah pun bisa saja baku bunuh. (*) tulisan asli bisa dibaca disini
Selengkapnya...

 

© free template by Blogspot tutorial

" Blog Pelajar yang selalu ingin belajar "